Karena Tak Tau Harus Berbuat Apa



Setelah membaca tulisan-tulisan sendiri di blog ini, rasanya sebagian besar tulisannya lebih cendrung Ngaur alias tidak jelas, hehehehehe... Mungkin karena pas nulisnya dalam suasana hati tertentu yang sulit untuk tidak dituliskan dalam bentuk curahan hati. Nahh kali ini saya mencoba menuliskan sesuatu yang lebih serius, lebih serius karena ini menyangkut anak-anak dan efeknya ketika dewasa.

Jika kita kembali mengingat masa kanak-kanak yang telah kita lalui, banyak hal yang terniang dalam fikiran dan benak kita, banyak kisah yang kadang membuat kita tersenyum, ketawa, geli bahkan menangis bahagia mengenangnya. Apabila ditinjau dari sisi idealnya, semua pasti berharap kenangan-kenangan yang dialami dan dikenang adalah kisah yang menyenangkan, walaupun itu tidak mungkin, karena setiap yang hidup akan mengalami masa-masa sulit. Kesulitan dan kerasnya hidup dimasa lalu pasti akan dialami oleh setiap manusia, begitupun dengan anak. Tapi yang menjadi kenangan paling buruk dan tidak akan hilang sampai akhir hayat adalah kenangan tentang kekerasan dan pelecehan yang dialami seseorang semasa kecil. Kekerasan dan pelecehan yang dialami akan menjadi momok dan mimpi buruk yang akan terulang dan terulang bahkan seumur hidup bagi korbannya. 

Kenangan buruk yang akan terulang sampai dewasa ini sama dengan kisah nyata seorang gadis yang tidak perlu saya tuliskan namanya, Si Gadis mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan oleh seorang anak laki-laki yang lebih tua 5 tahun darinya, anak laki-laki yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan korban. Seorang anak laki-laki yang mungkin mengalami fase pubertas dan tidak mampu mengendalikan dirinya.  Proses dan kronologis kejadiannya tidak bisa diceritakan dalam tulisan ini, yang pasti tetesan butiran bening tumpah dari pelupuk matanya saat Dia mencoba menceritakan tentang pengalaman pahitnya tersebut.

Sebagai seorang gadis kecil yang baru berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun, perlakuan tidak mengenakkan ini sangatlah sulit untuk diceritakan. Bagaimana tidak, diusia ini si gadis kecil sudah mulai mengenal malu, dalam fikirannya pada saat itu apa tanggapan Ibunya jika tau tentang ini?, bagaimana dengan teman-temannya? pasti Mereka akan melihatnya dengan sangat menyedihkan, bahkan mungkin mereka akan mengejeknya dengan Si anak laki-laki itu. Bagaimana jika Si anak laki-laki mengatakan bahwa yang dikatakannya tidak benar, bagaimana jika Ia berbicara yang berbeda didepan keluarga, teman-teman, dan semua orang?, Bagaimana jika setelah si gadis menceritakan semua Dia diam-diam menemuinya dan melakukan yang lebih parah dari sebelumnya?. Bagaimana jika Papanya marah besar terhadapnya? Bagaimana dengan kedua keluarga? Ibunya sangat baik, Pamannya juga. Banyak hal yang berkecambuk dalam fikiran dan hatinya, sampai akhirnya karena tak tau harus berbuat apa, maka dia memilih untuk menyimpan semuanya sendiri.

Apa yang difikirkan oleh Si gadis dalam pemaparan diatas ternyata sejalan dengan hasil penelitian Noviana, Ivo (2015) yang mengemukakan bahwa anak-anak yang menjadi korban akan sulit mendeteksi diri mereka adalah korban, anak cendrung takut untuk melaporkan kejadian yang mereka alami karena sulit untuk mempercayai orang lain, takut melapor karena takut dengan konsekuensi yang lebih besar apabila melapor, dan merasa malu dan takut kejadian yang dialaminya akan mempermalukan keluarga.

Kembali ke kisah Si Gadis, Akibat dari kenangan buruk yang dialaminya, Si Gadis menjadi pribadi yang sangat tertutup dan mawas pada teman lawan jenis serta membuatnya sering takut untuk bergaul dengan orang baru. Jangankan untuk menjalin sebuah hubungan, seorang teman laki-laki yang mencoba mendekatinya, dan menganggapnya istimewa akan berubah menjadi laki-laki yang sangat dibencinya ketika si gadis perasaannya.

Dampak yang dirasakan oleh si Gadis merupakan bagian kecil dari dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual pada anak. Dilansir dalam artikel 8 Trauma Fisik dan Metal Akibat Kekerasan  Seksual oleh Ajeng Quamila, bahwa ada beberapa dampak dari kekerasan seksual yaitu Depresi atau menyalahkan diri sendiri, sindrom trauma perkosaan (Rape Trauma Syndrome/RTS) dimana para korban biasanya mengalami mual, muntah, sakit kepala, sampai gejala disosiatif atau mati rasa, Disosiasi atau pelebasan dari relaitas dimana korban akan sulit berinteraksi di dunia nyata, Gangguan makan, Hypoactive sexual desire disorder (IDD/HSDD) adalah kondisi medis yang menandakan hasrat seksual rendah, Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan seksual, Vaginismus untuk wanita dimana kesulitan dalam berhubungan suami istri, dan terakhir adalah diabetes tingkat 2 bahkan dapat berkembang menjadi penyakit yang lebih kronis.


Melihat kisah diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa kekerasan seksual pada anak akan berdampak sangat besar bagi kehidupannya, bukan hanya diusia kanak-kanak, namun dampaknya akan terasa sampai dia dewasa. Sayangnya kekerasan seksual pada anak tidak semuanya bisa terungkap. Di luar sana masih banyak gadis-gadis manis yang mungkin mengalami hal yang sama dan lebih memilih untuk menyembunyikannya sendiri dengan dalil "Karena Tak Tau Harus Berbuat Apa". Permasalahan ini perlu diperhatikan oleh pemerintah, kelompok pemerhati anak serta LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk mencari cara mengedukasi kekerasan seksual terhadap anak kepada anak-anak itu sendiri. Mengapa kepada anak-anak? Mengapa ke LPSK, Pemerhati Anak dan Pemerintah? Mengapa bukan ke keluarga dan orang terdekat anak? karena melihat pelaku tindakan kekerasan seksual terhadap anak diindonesia sebagian besar tidak lain adalah keluarga ataupun kerabat korban.

Ref :
https://media.neliti.com/media/publications/52819-ID-kekerasan-seksual-terhadap-anak-dampak-d.pdf
https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/trauma-akibat-kekerasan-seksual/

Source Pic :
https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20160308/dscn3089-f3e8cd24f224c1b42ffc4c685d597c70.jpg






Share:

0 comments